wYDCW47if6cKleiypRwqUq9HZh2kI0aAhad9DlQd
Bookmark

Karya Penciptaan Tari ''Hen To'' Impresi Deforestasi dari Epos Takna Lawe’ Masyarakat Kayaan Kalimantan Barat


Hen To, Issue Deforestasi Penciptaan Tari

 Oleh: Euis Karmila 

sangitaharmoni.com -  Ujian Tugas Akhir  Pascasarjana Penciptaan Tari berjudul Hen To karya Koreografer Budi dilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2023 bertempat di Teater Kebun ISBI Bandung, pukul 19.00 WIB. Karya ini merupakan pengembangan dari embrio karya sebelumnya yaitu Ngaruhu'k'-ng, ICAS, dan karya studio 1, 2 pascasarjana.   Pertunjukan ini molor sekitar 30 menit karena lokasi pertunjukannya di outdoor, kebetulan berdekatan dengan adzan isya dan iqomahnya, pertunjukan ini ditunda setengah jam karena kebocoran suara yang akan mengganggu efektivitas ujian. Penjedaan tersebut juga dilakukan sambil menunggu dosen undangan yang belum datang.  Karya Hen To ini terinspirasi dari fenomena yang ada di daerah Kalimantan representatif dari impresi deforestasi  yang bersumber dari epos takna'lawe' masyarakat Kayaan Kalimantan Barat. 

Judul karya Hen To merupakan kata pembuka dalam sajian Takna Lawe’bersumber dari tradisi lisan masyarakat khayan, sebelum memulai pertunjukan, ada penyebutan kata Hen To yang diartikan“datang dan dengarkan. Secara harfiah memang tidak bisa diartikan datang dan dengarkan. Akan tetapi cara tradisi lisan penyebutkan kata Hen To sebelum pertunjukan bertujuan sebagai sarana untuk mengumpulkan masa yang berhubungan dengan sakralitas. 

Berkaitan dengan karya ini, Hen To berarti datang dan dengarkan apa dirasakan, ketika bencana datang akibat dari rusaknya hutan oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Sebuah impresi dari korban deforestasi yang terjadi di Kalimantan yang mengakibatkan  kemarahan, kekecewaan, kesedihan dan perjuangan untuk bertahan hidup masyarakat dari ancaman atas tekanan keadaan. 

 Dalam perspektif ilmu kehutanan, deforestasi dimaknai sebagai situasi hilangnya tutupan hutan beserta atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri. Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Dikutip dari kompas.com, Indonesia adalah salah satu dari lima negara teratas dunia yang kehilangan banyak area hutan selama dua dekade terakhir. Menurut data dari Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Presiden Joko Widodo berjanji pada tahun 2014 untuk memberantas deforestasi dengan mengatasi faktor utamanya - pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Data resmi menunjukkan bahwa hingga 80 persen kebakaran hutan terjadi untuk pembukaan lahan kelapa sawit.

Melansir dari bbc.com bahwa, Pemulihan hutan tropis hanya mampu mengurangi seperempat dari emisi karbon yang diproduksi setiap tahun akibat penebangan, kebakaran hutan dan pembukaan lahan, menurut hasil penelitian terbaru.Penelitian yang dipimpin oleh para peneliti dari Universitas Bristol di Inggris menemukan bahwa penghancuran ekosistem ini jauh mengalahkan kecepatan pertumbuhan ulang pohon-pohon itu. Bekerja sama dengan tim internasional, mereka menggunakan data dari satelit untuk meneliti tiga hutan tropis terbesar di dunia, yakni hutan Amazon, Afrika Tengah, dan Kalimantan. 

Hen To , Penciptaan Tari Deforestasi
Hen To (Dok. Euis Karmila)

Nyanyian Dalam Karya Hen To

Musik dalam karya ini bersumber dari mantra dan lamen tradisional suku Dayak Kayaan dengan saduran bahasa yang berbeda dari tradisi aslinya. Pada bagian awal penari Ine'Aya melantunkan Telimaan', yang berisi mengenai hutan. Lirik Telimaan'nya sebagai berikut:

Tuaan... tuaan... tuaan...

Nganah ha'tanaa' menaang

Hengaan urip ha'tanaa'idaa'

Oo pelo' kelunaan, an pelo'tutaang an pelo'

Lahii'syuu'na tuaan anii'

Sung jaan na pelo'ga'get ja'aak ula'

Artinya:

Hutan..hutan..hutan...

Terhampar luas di muka bumi

Nafas kehidupan di dunia

Wahai manusia, jaga dan rawatlah hutan ini

Agar dirimu tak binasa

Karya Hen To menggunakan lamen kara sebagai penunjang suasana dalam pertunjukan. Lirik yang digunakan pada lamen dalam karya ini merupakan pecahan suku kata yang dengan sengaja dibuat acak dan tidak memiliki arti khusus. Hal ini dilakukan karena kebutuhan lamen dalam konteks kekaryaan ini ditekankan pada segi musikalnya saja, bukan makna bahasannya, sehingga pecahan suku kata dibuat sesuai dengan kebutuhan vokalisasi dan pelafalan musikal. Lirik pada lamen dalam karya Hen To, yaitu:

Tanbe ula...eee...gaidah

Lanhanggoi...eee...dah

Oi lagaha oi lagaha

Oi riji riji oi riji riji

Naksalamu talaha

Tanbe udo, tanbe udo

Tagaha ugi laguhae

Tagaha ugi lahangge

Hen To , Penciptaan Tari Deforestasi
Hen To (Dok. Euis Karmila)

 Simbol atau Tanda yang Tervisualisasikan

1. Anak Kecil
 Kemunculan anak kecil dalam pertunjukan ini sebagai  simbol  kehidupan yang ditandai dengan membawa tanaman kecil, benih yang diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber kehidupan, masa depan,  dan kemunculan benih hutan-hutan baru. 

2. Tato Bunga Terung
Gambar tato bunga terung yang diukir dibawah bahu didekat ketiak penari ada yang berjumlah dua ada yang hanya satu, untuk dua bunga terung sebagai penanda penari inti. Dikutip dari detikborneo.com, bunga terung Dayak ini punya makna simbolis, terutama di kalangan suku bangsa Ibanik. Bunga terong sebagai simbol. seorang yang tinggi ilmunya (pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kekebalan, keberanian, dan keutamaan), pada bahunya ada tato bunga terong.  Ia menunjukkan kelas sosial tertentu, yang berkaitan dengan  khasanah alam budaya suku bangsa Iban. Iban, sebagaimana juga Dayak lain di bumi Borneo, adalah makhluk yang sarat dengan simbol (homo symbolicus). Dalam Lontaan (1975) dijelaskan perihal  tato bunga terong: menunjukkan jauhnya seseorang berjalan. Sudahlah tentu, “berjalan” ini dalam makna harfiah dan simbolik sekaligus. Menunjukkan seseorang sudah berpengalaman, banyak makan asam garam, menyenyam pahit getirnya kehidupan, melanglang buana, menantang berbagai marabahaya, mengalahkan musuh, lolos dari tubir maut, serta menjejalah pulau dan benua. Seberapa  banyak  lekukan pada bunya terung menandakan seberapa banyak jumlah daerah yang sudah ditaklukan. Lekukan juga sebagai simbol dari semangat masyarakat Dayak. 
tato bunga terong kalimantan
Sumber Gambar: detikborneo.com

tato bunga terong kalimantan
Sumber Gambar: www.pinterest.com

3. Hudoq 
Tari Hudoq merupakan salah satu hasil budaya dari Provinsi Kalimantan Timur.Tarian ini pernah mendapat Rekor MURI dengan pertunjukkan tarian selama 25 jam yang berlangsung di Desa Ujoh Bilang, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur pada 25 Oktober 2019. Karena keistimewaannya, tari Hudoq juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud.

Dilansir dari adahobi.com, Tari Hudoq merupakan tarian yang berasal dari suku sub-etnis Dayak provinsi Kalimantan Timur yang mencerminkan kehidupan masyarakat setempat dengan konsep tripartrit dan dualismenya. Secara etimologi, kata “Hudoq” memiliki makna “menjelma“. Maka dari itu para penari akan mengenakan topeng burung yang melambangkan seolah-olah sedang menjelma menjadi burung.Sedangkan menurut masyarakat setempat (orang Busang, Bahau, Modang, Penihing dan Ao’heng), kata “hudoq” mengacu pada 13 hama yang sering merusak tanamanan sawah dan ladang seperti gagak, tikus, belalang dan lain sebagainya. Konon suku Dayak percaya bahwa saat musim tanam tiba, roh para leluhunya (Jeliwan Tok Hudoq) akan turun berada di sekeliling mereka untuk mengawasi dan membimbing anak cucunya. Adapun gerakannya dipercaya turun langsung dari kayangan di alam nirwana.
tari hudoq
Sumber Gambar: id.pinterest.com

Sumber lain yang dilansir dari regional.kompas.com, Tari Hudoq ditarikan dengan diawali dengan Sakaeng Ngaweit yang berisi berbagai permohonan. Fungsi tarian ini dipercaya dapat menghalau hama tanaman yang akan mengganggu hasil pertanian. Selain itu doa-doa yang dipanjatkan juga mengharapkan kesuburan dan hasil panen yang melimpah. Sehingga tarian ini tak hanya berfungsi sebagai tradisi saja namun melambangkan keharmonisan antara manusia dengan alam.

Menurut info dari Budi (2023) selaku koreografer,  terdapat  sub Suku Dayak di Kalimantan Barat antara hudoq dari Kalimantan Timur yang tidak termarginalkan artinya tidak terpetakan antara kubu Kalimantan Barat beda dengan kubu  Kalimantan Timur.  Tetapi ada sub suku khayan  berasal dari Kalimantan Timur yang menjadi sumber penyebarannya. Dapat dikatakan bahwa  sudah ada pembauran antara sub suku yang ada di Kalimantan Timur sebetulnya ada juga di Kalimantan Barat, bahkan se-Kalimantan.  

4. Tari Gong 
Berbeda halnya dengan  Jawa menginjak gong itu dianggap  pamali, nah kalo di Kalimantan  ada yang namanya tari gong  disitu ada sosok perempuan yang nari diatas gong. Tari gong adalah  nama tari tradisional yang berasal dari Kalimantan Timur. Tarian ini dimiliki oleh Suku Dayak Kenyah dan menjadi tari adat khas suku tersebut. Asal nama tarian ini berasal dari penggunaan gong dalam tarian, selain digunakan sebagai alat musik, gong digunakan sebagai properti tari.Tarian ini masih memiliki fungsi tradisional dan modern, banyak suku Dayak yang menggunakan tari gong untuk keperluan ritual, misalnya untuk proses kelahiran bayi kepala suku. Nantinya penari akan menari di dalam ruangan, bukan di luar ruangan. Dulunya, tarian ini digunakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Dewa atas panen yang berlimpah ruah.
tari gong kalimantan
Sumber Gambar: www.pinterest.com
Gong tersebut digunakan oleh penari sebagai alas untuk menari, dalam artian penari akan menari di bagian atas gong dan menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Selain disebut sebagai tarian gong, nama lain dari tarian ini adalah kancet lado.
Hen To , Penciptaan Tari Deforestasi
Hen To (Dok. Euis Karmila)

Analisis Pertunjukan  Penciptaan Tari Hen To

Takna Lawe adalah budaya tutur atau tradisi lisan Suku Dayak Kayan. Suku Kayan adalah suku Dayak dari rumpun Kenyah-Kayan-Bahau atau Orang Ulu yang berasal dari Sarawak.Suku Kayan merupakan 1,4% dari penduduk Kutai Barat (sebelum pemekaran Mahakam Ulu). Suku Kayan juga terdapat di sungai mendalam, Kalimantan Barat sekitar tahun 1863, suku Iban bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rejang, dan menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya. 

Definisi Takna dalam bahasa Kayaan berarti syair tentang roh atau cerita yang dinyanyikan atau dapat diartikan juga sebagai roh. Dibalik kisah patriotik dan percintaan sosok Lawe’, terdapat tanda-tanda dalam syair tersebut, yang mengarah kepada isu deforestasi, yaitu dalam episode “Hingaan Tersangkut pada Beraan” artinya Hingaan adalah nama orang, Beraan artinya pohon beringin. 

Pemanfaatan outdoor sebagai media pertunjukan menyesuaikan dengan kebutuhan  setting hutan, yang kebetulan Teater Kebun cocok untuk kebutuhan pertunjukan, mungkin untuk meminimalisir budget yang ketika setting di dalam ruangan membutuhkan effort yang lebih besar untuk menghadirkan suasana. Terlepas panggung yang digunakan memakai konsep panggung arena, bisa dilihat dari berbagai sisi, tetapi kekurangan panggung arena disini memang terbatas, dan sangat menyatu dengan  gedung atau bangunan karawitan, sebagaimanapun disetting tetap tidak bisa tertutupi. Yah tetapi sayang sekali pertunjukan ini tidak diselenggaran di daerah asal pengkarya, mungkin ketika diselengarakan di Kalimantan akan lebih terasa, pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini bisa tersampaikan dengan baik karena sasaran tempat sesuai.
Hen To , Penciptaan Tari Deforestasi
Hen To (Dok. Euis Karmila)
Pertunjukan ini dimulai dengan anak kecil yang memegang ranting pohon. Kemudian dilanjut dengan wanita yang menari diatas gong, pengkarya mengambil unsur esensi kecantikan, keanggunan, sebagai sosok seorang dewi. Setelah itu, menampilkan kegembiraan suasana alam yang masih asri dengan senyuman penghuni hutan, yang mengambil kayu bakar secukupnya, bermain diatas pohon, dan lain-lain senatural mungkin ketika di hutan. Pada klimaksnya pekerja datang untuk memotong batang pohon sebagai visualisasi dari penebangan hutan secara liar atau pembukaan lahan untuk kepentingan industri, dengan kata lain mengubah fungsi hutan menjadi fungsi lain. Selain itu dewi yang ikut turun tangan sebagai representasi bahwa peringatan alam yang telah kehilangan kemurniannya harus dimurnikan kembali.  Ending  dari pertunjukan ini adalah kemunculan  hudoq dan  mengajak apresiator  untuk mengelilingi panggung sebagai representasi dari menjaga alam  bukan hanya tugas dari orang Dayak, ini tentang semuanya harus  ikut menjaga alam. Karena yang dirugikan bukan hanya satu tempat tetapi semua  tempat ikut merasakan global warming, bukan hanya dari efek rumah kaca, tetapi kebakaran hutan, termasuk pembukaan lahan perkebunan sawit. Akibatnya,  alam rusak karena eksploitasi berlebih yang dilakukan oleh manusia. Fakta ini sangat menyedihkan karena di satu sisi pemerintah selalu membanggakan kelapa sawit sebagai sektor yang sangat berperan dalam menyumbang devisa bagi negara, namun di sisi lain kelapa sawit menjadi sumber bencana bagi masyarakat yang setiap tahun harus menghirup asap. Kebanggaan yang berlebihan dari sektor ini menjadikan pemerintah lupa akan dampak yang terjadi terutama kebakaran lahan di perkebunan kelapa sawit. 
deforestasi kalimantan
Sumber Gambar :www.mongabay.co.id
Dilansir dari foresteract.com, Kelapa sawit merupakan salah satu penyumbang devisa bagi negara dengan total 19,1 miliar dollar AS atau 219,65 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastik , karna pasalnya kelapa sawit adalah  penyumbang terbesar bagi devisa negara di luar sektor minyak dan gas bumi. Di samping besarnya sumbangan ini, perkebunan kelapa sawit juga menjadi salah satu penyumbang asap dari hutan terbesar dari tahun ke tahun. Sawit watch mencatat sejak Januari sampai dengan September 2014, jumlah titik api yang tersebar di seluruh Indonesia adalah 8.094 titik. Data di bulan September 2014 sendiri, jumlah titik api yang terlihat adalah 1891 titik, dan tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar titik api terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan, selain kedua pulau ini pulau yang memiliki banyak titik api juga adalah pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jumlah titik api ini berdasarkan data yang diinventaris oleh Sawit Watch, sebagian besar terdapat pada titik-titik di perkebunan kelapa sawit atau dekat dengan perkebunan sawit.

Devisa dan asap yang disumbangkan  sektor perkebunan sawit tidak membuat pemerintah Indonesia untuk memulai berbenah dan menyiapkan langkah-langkah dalam menanggulangi perayaan tahunan ini. Tetapi sebaliknya, keadaan yang terjadi adalah pemerintah hanya menyiapkan langkah-langkah untuk memperluas lahan perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 2020. Berdasarkan rencana jangka panjang Kementerian Pertanian, luas perkebunan kelapa sawit sudah direncanakan mencapai 20 juta ha pada tahun 2020. Pada tahun 2014 saja, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 9,2 juta ha, sedangkan berdasarkan data Sawit Watch sendiri luas perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 13,5 juta ha pada tahun 2014.

Tetapi yang menjadi pertanyaan disini adalah apakah manusia yang dipandang sebagai satu-satunya entitas  yang memiliki nilai tertinggi (antroposentisme), pernah memikirkan  semua makhluk hidup yang hidup di bumi (biosentrisme) dan  menjaga ekosistem alam keseluruhan (ekosentrisme)?

Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak setiap keserakahan manusia. -Mahatma Gandhi



Posting Komentar

Posting Komentar