wYDCW47if6cKleiypRwqUq9HZh2kI0aAhad9DlQd
Bookmark

Impovisasi Komedi Dalam Pertunjukan Ujian Tugas Akhir Penyajian Rebab Ketuk Tilu

 

Oleh:Euis Karmila

sangitaharmoni.com -Penyajian  yang disajikan Rosmiadi termasuk kepada pertunjukan ketuk tilu kiwari, bisa dilihat karena konteks kekinian dari  ketuk tilu yang dibawakan. Tampilan artistiknya memang kurang menggambarkan suasana ketuk tilu, hanya satu yang menjadi ciri khas yaitu seperi  pohon yang ada di kebun Awi. Adapun obor, tetapi tidak menyala, jadi untuk apa fungsi obor?  Karena memang setiap Ujian TA, baik itu penyaji ataupun panitianya memanfaatkan artistik dan penataannya yang sudah ada, demi untuk mengirit budget atau pengeluaran, yang sudah terpakai selama proses ujian. Kalimat yang sering terdengar adalah '' nu penting mah ujian, lulus, beres, ''.  artinya yang penting ujian, lulus, selesai.  Karena itulah, penilaian artistik, ataupun pendukung menurut penyaji bukan menjadi persoalan, selama yang ujian masih tetap aman. Padahal itu adalah kesatuan (unity) harmoni yang merupakan bagian dari pertunjukan yang tidak bisa diabaikan ketika melihatnya. Orang akan fokus melihat bukan hanya kepada yangujian saja. Tetapi semua aspek darimana mereka melihat bisa menjadi menarik dan tidak menarik.  Namun memang dalam hal ini ketuk tilu sudah masuk kepada ranah industri, hanya memberikan hiburan, teater komedi, terkadang tidak ada makna filosofis, atau nasihat  bijak dari sesepuh terdahulu ke generasi berikutnya, hanya hiburan semata. Menurut Lorand, setidaknya ada 6 kualitas tak indah yang bisa disebutkan yakni: jelek (ugly), tanpa makna (meaningless), kitsch, membosankan (boring), tidak penting (insignificant), dan tidak berkaitan (irrelevant).  

Penyajian Rebab Dalam Ketuk Tilu  '' Rosmiadi''

Penyajian Rebab Dalam Celempungan ''Rosmiadi''

Waditra rebab dipergunakan saat waditra pengiringnya dan bertugas sebagai pembawa melodi. Jika waditra pengiring hanya membawakan posisi lagu saja dan tanpa ada unsur melodi yang dilakukan maka sajian garapan tersebut akan terkesan monoton dan kurang terasa karakter lagu apa yang sedang dibawakan. Dengan kata lain, rebab bukan hanya sebagai pembawa lagu melainkan sebagai penguat karakter dari sajian karawitan Sunda yang ditampilkan. Rebab pada sajian karawitan Sunda itu cukup sulit karena ada beberapa hal yang harus  dikuasai dipahami dan diaplikasikan. Dikatakan sulit  karena dalam sajian pertunjukan karawitan Sunda bukan hanya hapal materi lagu, pangkat, surupan dan laras nadanya saja, akan tetapi faktor penyelarasan penyatuan antara rebab, dengan para wiyaga (gending) dan juru sinden (sekar) juga harus selaras seirama, satu rasa satu hati agar terjalin harmoni dan keutuhan sajian yang indah.  

 Dalam sajian Rosmiadi, rebab yang dimainkan  cukup untuk mengukur secara personal, kenapa demikian? Karena rebab ketuk tilu di masyarakat sudah sangat atraktif, arang-arang sebagai pembuka, jembatan lagu, memiliki standar kompetensi tertentu. Tetapi yang terpenting dari itu adalah bunyi yang dihasilkan pengrebab tidak boleh sumbang, fals, dan Rosmiadi berhasil untuk mempertahankan hasil bunyi. Salah satu faktor hasil bunyi yang baik dari waditra rebab adalah wangkis atau batok. Biasanya batok yang bagus adalah terbuat dari lisung.

Dalam pertunjukan ini, sangat disayangkan penari sebagai pendukung dalam pertunjukan ini kurang natural, dan tidak atraktif dalam pembawaannya. Tetapi dengan kehadiran Mang Kodel, sebagai center point dari pertunjukan menjadi cair, bisa membuat suasana panggung menjadi hidup, hal tersebut terjadi karena pengalaman Mang Kodel sudah tidak diragukan lagu, beliau tahu bagian mana yang kurang dan harus diisi. Walaupun aksi komedi yang dibuat oleh Mang kodel, membuat penyaji rebab hampir tidak fokus, tetapi itu bukan salah dari Mang Kodel, tetapi kemampuan penyaji untuk fokus dan mengontrol sebagai pengendali pertunjukan, karena dalam hal ini konteks yang sedang ujian adalah Rebab. Sebetulnya boleh penyaji merespon komedi ataupun ikut terlibat, hanya saja tanggung jawab ujian adalah rebab, harus menyeimbangkan konsistensi yang menjadi fokus lagu ujian, dikhawatirkan menjadi lupa. Karena beberapa motif atau ornamentasi  menjadi kurang gereget, tetapi itu semua memang dikembalikan lagi pada kemampuan atau kamonesan pengrebab itu sendiri, karena strategi memainkan rebab diatur sendiri oleh pengrebab yang memainkan. 

Ketika Mang Kodel mengajak penari untuk duet, si penari ikut terbawa suasana. Sedangkan sebelum mang kodel masuk pertunjukan terkesan kaku dan tidak natural.  Memang kendala dalam ujian  adalah memilih yang bersedia, bukan yang bagus. Karena yang bagus sering sekali banyak yang mengajak, namun ini menjadi wajar karena balik lagi proses belajar seseorang untuk bagus membutuhkan waktu. Jadi hal tersebut juga memberikan pengalaman kepada penari untuk berbaur, menari memakai rasa, bukan hanya menggerakan tubuh. Selain itu, kesan penambahan aktor komedi juga harus dipertimbangkan, apakah goongnya masuk atau tidak. Terkadang memang hanya untuk meramaikan. Namun ketika itu tidak lucu, beban berat terdapat pada penonton dan dirinya yang apakah menanggung malu. Kecuali memang sudah biasa tidak ger  (nyari) dan fine aja, yang dicari mungkin memang pengalamannya. Apapun yang terjadi dipanggung spontanitas yang ada adalah hasil selama proses latihan. 

Proses tidak akan menghianati hasil. 

Murgianto (2017:17) juga mengemukakan bahwa manipulasi gerak semacam ini jika dilakukan dengan baik menunjang keberhasilan pembentukan simbol gerak yang ideal dan khas penata tari. Gerakan yang dihasilkan tidak menghilangkan bentuk gerak marah, tetapi membuatnya lebih ekspresif dan lebih indah. Penataan koreografi atau stilisasi gerak bukan saja memperluas jangkauan ekspresif gerak lakuan tetapi juga memberinya bentuk yang pasti serta memberi tekanan atas  makna dari gerakan tersebut. Oleh karena itu, stilisasi berbeda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat. Akan tetapi dari sudut pandang estetika pertunjukan setiap stilisasi menuntut: (1) kejelasan bentuk: dan (2) kaitan atau dukungannya terhadap citra yang hendak diwujudkan. Mengutip Lincoln Kirstein (via Cohen 1968: 87). tarian yang disajikan di atas panggung professional haruslah “theatrically legible! Tuntutan ini dipenuhi dengan stilisasi: 

“The purely natural gesture has sufficient meaning for the performer, but for the audience it fails to establish a theatrically image. 

Artinya:

“Gerakan yang murni alami memiliki arti yang cukup bagi pemainnya, tetapi bagi penonton hal itu gagal membangun citra teatrikal.” 

Penilaian dari perspektif penonton  memang tidak bisa dijadikan sebagai penilaian yang objektif, karena setiap penonton punya cara pandang yang berbeda, tetapi bukan niat untuk saling menghakimi, beberapa penonton sering melontarkan kritikan secara spontan, sebagai bentuk merespon apa yang mereka lihat terlepas dari teks dan konteks didalamnya. Membaca fenomena bukan hanya dari ahlinya tetapi juga dari perspektif penonton dapat membentuk karya yang lebih berkaya akan inovasi dan kreativitas yang lebih baik.  Apapun kekurangan dalam sajian tugas akhir ini, hanya mengukur standar penilaian secara akademik, karena pada hakikatnya manusia akan terus berkembang seiring dengan proses yang telah dijalani. 

Ujian Tugas Akhir (TA) bukanlah akhir untuk berhenti belajar, tetapi awal belajar yang tiada  akhir.  








Posting Komentar

Posting Komentar