Oleh: Euis Karmila
sangitaharmoni.com- Dalam rangka Ujian Akhir Semester Studio II Penciptaan Karawitan Pascasarjana ISBI Bandung, Arita Bagja Pramudita selaku komposer membuat karya dengan judul Embus. Karya ini dipertunjukan pada Selasa, 25 Juli 2023, pukul 20.00-21.00 di Ruang Gugum Gumbira (Eksperimen) Jurusan Tari ISBI Bandung. Walaupun petunjukan ini molor sekitar 15 menit tidak sesuai dengan jadwal karena menunggu Dosen Pengampu yang belum datang, pertunjukan ini dihadiri oleh banyak penonton meskipun dengan fasilitas ruang yang tidak begitu luas. Sebelum masuk ke ruangan, penonton terlebih dahulu mengisi daftar hadir yang didalamnya terdapat nama, no. whatsapp, dan asal institusi. Setelah itu, masuk ke ruangan dan penonton digiring untuk duduk di tempat yang telah disediakan, yang ternyata bagian dari pertunjukan itu sendiri yaitu posisi duduk membentuk persegi empat yang didalamnya ada lampu kecil berbentuk lilin. Karya ini adalah kelanjutan atau part 2 dari embrio karya sebelumnya di Studio 1 dengan judul yang sama. Berikut adalah sinopsis karya Embus:
Karya ini adalah karya music absolute yang terinspirasi dari hembusan nafas manusia. Kemudian hembusan nafas tersebut diolah dengan teknik komposisi yang dipadukan dengan konsep musik tonal, polytonal (pengembangan, perluasan tonal), atonal (bersifat lebih bebas) dan dikembangkan oleh penggunaan free counterpoint (gerakan yang mencakup tentang tensi dan durasi). Musik Absolute adalah musik yang tidak menceritakan sesuatu atau menggambarkan sesuatu tetapi lebih mengedepankan keahlian komposer dalam menyusun ulang setiap element bunyi. Teknik komposisi menjadi alat utama untuk membuat musik absolute yang dipadukan dengan pertimbangan penyusunan unsur musikal, meliputi pola frase, ritme, pengembangan tempo, sukat, interval, harmoni, timbre, dan bentuk. Karya ini adalah produk karya berbasis riset tentang pencarian terhadap instrumen aerophone (alat musik tiup) sebagai media eksperimentasi hembusan nafas manusia dalam komposisi musik absolute. Selain itu juga karya ini adalah bentuk produk karya hasil riset terkait surround dalam pertunjukan yang ditampilkan secara langsung.
Embus (Dok. Euis Karmila) |
Garap karya ini, terkesan meniru suara-suara yang digunakan untuk meditasi seperti musik-musik instrumental atau suara-suara alam. Bahkan hasil dari eksplorasi bunyi ini, terdapat beberapa bunyi seperti rel kereta api, sound film horor, pengiring musik kartun, suara alam. Tetapi perbedaannya disini, dari alat yang digunakan memang hanya satu jenis yaitu alat tiup. Alat tiup yang dimaksud adalah 2 buah suling low (frekuensi rendah) nada G# dan F dan dua buah suling kecil nada A dan C dan dua buah flute. Pemain bermains dengan berpasang-pasangan secara bergantian, memainkan alat dari berbagai sudut penonton. Pertunjukan diakhiri dengan berkumpulnya satu persatu pemain ditengah penonton dengan surupan (nada) yang berbeda.
Embus (Dok. Euis Karmila) |
Embus (Dok. Euis Karmila) |
Musik Cerminan Watak Pengkarya
Para pemikir Klasik seperti Boethius melihat fungsi moral dalam seni, terutama musik, yang mengemukakan bahwa musik merupakan mimesis atas watak (ethos). Karena itu dalam memainkan musik terdapat proses demonstrasi watak tertentu.
Secara konseptual, Boethius menjalankan pemilahan antara "seni" (ars) dan "ilmu pengetahuan" (scientia) ketika ia menulis bahwa seni musik yang sejati mesti melampaui sekadar permainan melodi dan masuk ke dalam wacana teoretis tentang proporsi." Artinya, kajian teoretis tentang harmoni nada (ilmu musik) adalah puncak dari seni musik. Boethius juga menuliskan uraian sebagai berikut:
"Ada tiga kelas yang berhubungan dengan seni musik. Kelas pertama berurusan dengan alat musik, kelas kedua mencipta lagu, sementara kelas ketiga mengevaluasi permainan musik. Namun, kelas yang berurusan dengan alat musik ... terceraikan dari pengetahuan tentang tentang seni musik sebab mereka adalah hamba [...] Kelas kedua adalah penyair yang menghasilkan lagu tidak berdasarkan nalar, tetapi insting. Maka, kelas ini juga jauh dari musik. Kelas ketiga adalah mereka yang punya keahlian menghakimi dan menimbang ritme, melodi, dan keseluruhan lagu. Karena aktivitasnya bertumpu sepenuhnya pada rasio, kelas inilah yang lebih tepat di- sebut musisi" (De Institutione Musica I, 33)
Berdasarkan kutipan tersebut, Boethius membagi tiga kelas musisi berdasarkan kedekatannya dengan aktivitas rasional, diantaranya pertama kelas pemain musik, kedua kelas pengarang lagu dan ketiga kelas kritikus musik atau teoretisi musik . Kelas pertama menurutnya adalah yang paling rendah.Karena mereka masih memerlukan kerja fisik (keahlian teknis) untuk menghasilkan karya. Kelas kedua, kendati tidak memerlukan kerja fisik, belum sungguh-sungguh rasional karena masih menyandarkan diri pada ilham (inspirasi) yang datangnya tak menentu. Hanya kelas ketigalah, kelas kritikus atau teoretisi musik, yang layak disebut musisi sejati sebab mereka mengerti hakikat musik, yakni hakikat matematis proporsi nada.
Tidak menutupi, memang ketika konsep atau ide gagasan sering berbeda dengan praktik atau eksekusi dilapangan. Aspek-aspek tertentu yang mungkin pengkarya lupakan adalah tujuan dari pembuatan karya tersebut. Apakah ini hanya untuk dinikmati secara personal, dengan kata lain hanya membuat karya tanpa ada tujuan. Ataukah karya yang memang untuk tujuan tertentu, misalnya untuk terapeutik, meditasi, atau menyampaikan pesan tertentu dan lain-lain. Karena ini pertunjukan dan ada penonton, tentunya hal ini bukanlah untuk dinikmati sebagai karya pribadi. Terlepas ini adalah ujian Magister Seni untuk mengukur standar kelayakan atau potensi dari Mahasiswa tentang sejauh mana analisis dan garap sesuai dengan kata lain teori dan praktiknya memang ada sinkronisasi. Terlepas dari apapun karya yang dibuat, pada intinya karya tersebut idealnya untuk mengungkapkan jati diri,yang akan membawa identitas kepada si pengkarya itu sendiri.
Posting Komentar