wYDCW47if6cKleiypRwqUq9HZh2kI0aAhad9DlQd
Bookmark

Passompe: Filosofi Bugis-Makasar Sebagai Ideologi Komposisi Penciptaan Tari


Passompe, Penciptaan Tari

Oleh: Euis Karmila

sangitaharmoni.com- Ujian Akhir Semester Studio 2 Penciptaan Tari karya Ilham Haruna diselenggarakan pada Selasa, 4 Juni 2023 bertempat di Ruang Gugum Gumbira (Eksperimen) Jurusan Tari ISBI Bandung. Tarian ini merupakan hasil dari reinterpretasi nilai-nilai parenting dari budaya adat Bugis-Makasar. Setelah sebelumnya di Studio I dengan judul karya Opu to Lebbie yang masih menggali nilai-nilai filosofis dalam parenting di Sulawesi Selatan. Kentalnya dengan adat budaya, koreografer Ilham Haruna mencoba menggabungkan nilai-nilai filosofis yang ada pada tanah kelahirannya sebagai komposisi tari pada Ujian Akhir Semester Studio Tari yang sedang ditempuh dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan matakuliah.  Judul yang diusung dalam komposisi tari ini adalah PASSOMPE, yang berasal dari bahasa Bugis ''PA'' dan ''SOMPE''.  Sompe yang berarti  berlayar.  Pasompe artinya pengembaraan orang  Bugis. 

Dilansir dari goodnewsfromindonesia.id bahwa masyarakat suku  Bugis- Makasar, Sulaweesi Selatan memiliki semangat keras yang kerap dilafalkan sebagai ''Makkareso''. Semangat itu tidak hanya diwujudkan dalam bentuk kerja keras dikampung halamannya, tetapi juga dimanapun mereka berada. Orang yang berlayar atau berpergian jauh meninggalkan kampung halaman untuk  mencari penghidupan  yang lebih baik  disebut dengan  Sompe. Begitupun adrenalin orang Bugis- Makasar untuk hidup lebih baik  akan terpacu  ketika dirinya dihadapkan pada tantangan. 

Sinopsis Karya

Sudi sauh ku lepas dalam pandangan 

Berkalang engkau mengarungi samudera kehidupan

Bidukmu mengangkasa di bawah lembayung

Pantang surut engkau ke tepi

Benamkanlah dalam sukmamu tiga falsafah ujung

Cappana lilaE, cappana kawaliE, cappana lasoE

Temukanlah kebaikan di tanah rantau

Lantunkan doa hingga membumbung ke langit

Nyanyian Tari Passompe

Dalam komposisi tari ini, penari selain melakukan tarian juga bersenandung. Nyanyian ini mengandung unsur papaseng (amanat orang tua) dalam bentuk elong kelong (doa dan harapan orang tua). Karena background koreografer selain menjadi penari ia juga merupakan seorang penyanyi dan aktif melatih paduan suara yang ada di daerahnya. Sehingga  menjadi tantangan tersendiri antara vokal dan tarian harus berkesinambungan. Bisa dibayangkan nari saja sudah menguras tenaga apalagi harus sambil bernyanyi. Butuh tenaga yang extra dan konsisten dalam melakukan olah vokal dan olah tubuh agar menjadi satu kesatuan atau gerak harmoni.  Berikut adalah lirik dari nyanyian tari Passompe.

 Elong Kelong Na To Passompe

Kelong I

Yabelale

Engkako lao mappangnguju salai wanuammu

(Engaku bergegas meninggalkan negerimu)

Lao sompe ri seddi wanuae

(Merantau ke sebuah negeri)

Yabelale

Mammuarei engkako mancar tau suge na madeceng

(Semoga engkau menjadi manusia yang berhasil)

Ri wanuanna tauet

(Di negeri rantau)

Yabelale

Pahanging such na madecencinge

(Pahamilah sifat manusia yang berhasil)

Iyyanaritu eppa tandra-tandrana

(Ada empat tandanya)

Sugi ada-ada, sugi nawanawa suoi akkareso na sugi balanca 

(Baik peringainya, berempati tool pekerja keras dan dermawan)

Yabelale

Ingingarenging tellunni mannennungeng

(Ingatlah selalu untuk menjaga tiga falsafah hidup) 

Cappana lilae, cappana kawale na cappana lasoe

(ujung lidah, ujung badik, dan ujung kemaluanmu)

Kelong II

E...

Idi to ogie nangkasa

(Aku manusia Bugi-Makassar)

Ewellai wanuammu

(Ku tinggalkan kampung halamanku)

Muwellai ancajingengmu 

(Ku tinggalkan tanah kelahiranku) 

Mu sappai pakkasiwiangnge 

(Engkau mencari kebaikan)

Ie...

Mupuenrei sompemu 

(engkau bentangkan layarmu)

Kelong III

Engkana ri mabelae 

(Aku berada di tanah rantau)

Ri lipu wanua laingnge 

(Di sebuah negeri yang jauh) 

Usappai decengnge 

(Aku mencari kebaikan )

Uddanikka bi opu e 

(Rindu aku pada orang tua)

Uddanikka lao ri wanuae 

(Rindu aku pada kampung halaman) 

Marellaukku ri puang alla taala 

(Ku berdoa sealu kepada tuhan)

Na matauka ri dewatae

(tercapai segala keberkahan dari tuhan)

Passompe; Penciptaan Tari, Bugis-Makasar
Passompe (Dok. Febrika CS)

Landasan Filosofis Kearifan Lokal Bugis-Makasar Sebagai Identitas Kekaryaan  

Adapun nilai falsafah tellu cappa yang menjadi gagasan penciptaan karya passompe yang memiliki  makna  seperti ujung lidah (cappa lila) yang merupakan interpretasi dari kemampuan atau kecerdasan manusia dalam memelihara tutur baik dengan personal maupun dengan orang lain. Ujung badik (cappa kawali) yang diartikan sebagai kemampuan manusia dalam mempertahankan diri, namun pemaknaannya tidak hanya dalam makna sempit, melainkan ujung badik merupakan makna terhadap ketajaman manusia dalam  bernalar tidak hanya pada ilmu pengetahuan tetapi meliputi juga pada ilmu akhlak dan agamanya. Adapun ujung kemaluan (cappa laso), didefinisikan sebagai ujung kemaluan tidak hanya berarti pada bentuk seksualitas atau keperkasaan laki-laki, akan tetapi kemaluan ini gambaran dari siri’ atau sifat malu. Maka dari itu, ujung kemaluan ini berarti pada kemampuan manusia dalam mengontrol diri, serta nilai-nilai moralitas yang ada didalamnya.  

Selain itu peran sosok orang tua  dalam bahasa Bugis ''Tomatua'' sebagai manusia yang menjalankan kehidupan dan penuntun dalam petuah (pappaseng) hidup untuk mengarungi kehidupan, pappaseng yang mengatur tentang norma sosial, bagaimana berafiliasi, dan bersikap baik bersosialisasi pada masyarakat setempat maupun pada orang Bugis di perantauan. Masyarakat Bugis di dalam lontara memiliki prinsip hidup “materru na’ malampe nawa-nawa” (Berani serta mempunyai visi), hal demikian yang menjadi pegangan untuk terus dimanifestasikan kepada keturunannya. Selain itu nilai-nilai pappaseng diantaranya accae (kecakapan), lempu (kejujuran), warani (keberanian), getteng (keteguhan), keempat karakter tersebut menjadi landasan dalam setiap jati diri  masyarakat Bugis. 

Analisis Pertunjukan Penciptaan Tari Passompe

Instrumen atau alat musik yang dimainkan pada komposisi pengiring Tari Passompe diantaranya gong, gendang, rebana, kecapi, katto-katto, kannong-kannong, singing bowl. Warna musik pada komposisi ini memang disesuaikan dengan musik yang ada di Bugis-Makasar yang dominan riuh, ramai. Tetapi memang pada situasi tertentu ketika  sosok penari ibu hadir, komposisi musik yang terdengar masih ada pakem-pakem tradisi yang dominan adalah gendang. Tetapi mungkin  jika nuansa musik Bugis-Makasar dikolaborasikan dengan warna-warna musik Sunda yang lirih atau pilu, mungkin akan lebih menarik. Seperti kecapi  yang digesek menjadi lebih dominan dan volume gendang sedikit lebih diturunkan dibagian-bagian tertentu. 
Passompe, Penciptaan Tari
Alat Musik Pengiring Tari Passompe (Dok. Euis Karmila)
Busana tari pada garapan karya tari “Passompe” menggunakan busana pria dan wanita yang tetap mempertahankan lokalitas Bugis, busana pada penari wanita yaitu baju bodo berwarna putih dan sarung sutra (lipa sabbe). Reinterpretasi diterapkan pada busana penari laki laki memakai celana dan juga memakai sarung susun dengan ikat pinggang (pabbekkeng). Bagian kepala menggunakan ikat kepala (patonro’). Juga konsep menggunakan kipas sebagai media  gerak tari yang menjadi salah satu media  gerak yang dipakai pada tari pemujaan terhadap dewa di Sulawesi Selatan, tarian tersebut bernama Tari Kipas Pakarena. 
Passompe, Penciptaan Tari
Tari Kipas Pakarena (Sumber: www.pinterest.com)
Ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam gerakan penari adalah  ruang, waktu dan dinamika. Sebutan lainnya adalah desain keruangan dan desain temporal. Keduanya dicapai melalui stilisasi gerak yang menuntut kejelasan dan menantang. Kerumitan gerak sebuah tarian ditentukan oleh jenis atau pendekatan koreografisnya. Pada umumnya, gerak-gerak tarian tergolong dramatik. Sekalipun demikian, tetap saja tarian dramatik juga memerlukan stilisasi jika tak mau Jatuh menjadi self-expression.  Pada dasarnya, stilisasi gerak tari dapat dibagi menjadi dua, yakni: (1) dramatik (seperti berlaku dalam dramatari): dan (2) lirik (dalam tarian yang mengabaikan plot cerita dan intens menjelajahi aspek emosi dan rasa gerak). Dalam hal ini, seorang penari dapat berpuas diri dan berlama lama menjelajahi emosi atau rasa batin tertentu (resah, murung, patah hati, kesepian) dalam sebuah adegan tari. (Murgianto, 2017:19) 
Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Sosok ibu dan anak dalam tarian ini benar-benar menjadi fokus sajian. Karena penari yang hanya berjumlah dua orang menjadi sangat terlihat jelas apabila salah satu diantaranya ada yang lupa atau tertinggal tempo. Misalnya sosok ibu disini yang gerakannya sama dengan anak dibagian atau part tertentu dengan gerak tarian yang cepat, terlihat sangat jelas tertinggal  mengejar, tetapi memang alangkah lebih baiknya mungkin tarian ibu dan anak tetap menjadi kontras. Ketika tarian ibu dan anak sama  sosok ibu, sebagai yang lebih tua atau berwibawa jika tariannya dominan sama possioningnya bukan lagi sebagai ibu dan anak. Melainkan sebagai perempuan dan laki-laki yang setara artinya tarian ini tentang gender antara maskulinitas dan feminisme yang memiliki kedudukan yang sama.  Melihat penari yang menjadi sosok ibu  memiliki pola ketubuhan atau endapan yang memiliki karakter penari topeng. Namun itu tidak menjadi masalah karena setiap orang punya pola gerak yang menjadi identitasnya sendiri.  Artistik panggung pada pertunjukaan ini memang tidak ada, hanya polos hitam. Pengkarya memang tidak mementingkan artistik panggung, tetapi lebih menggarap improvisasi gerak tubuh. Mungkin dengan berbagai pertimbangan tidak menggunakan artistik panggung karena, ketika artistik tersebut tidak direspon, dimainkan, dieksplor oleh penari akan menjadi tidak berguna. Fungsi dan kegunaan artistik dipanggung memang harus dipertimbangkan, jika tidak pandai menggunakannya atau menempatkannya maka keindahan saja hanya akan menjadi kesia-siaan. Namun hal tersebut memang subjektif, setiap orang memiliki cara pandangnya sendiri mengenai estetika panggung.

Adegan seorang anak  mendorong level ke tengah panggung sambil menggigit kipas, mungkin jika diinterpretasikan secara subjektif sebagai simbol bahwa seorang anak merantau dengan meninggalkan keluarganya, kerasnya kehidupan yang anak lalui dengan bekal dari seorang ibu.  Dengan kata lain, nilai-nilai pangadereng yang diajarkan sangat mempengaruhi  karakter yang akan dibawa seorang anak ketika merantau.  

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)

Passompe, Penciptaan Tari
Passompe (Dok. Febrika CS)
Pada pertunjukan penciptaan tari memang tidak bisa dipisahkan dalam unsur dramatiknya. Berkaitan dengan unsur dramatik tidak dipungkiri hal tersebut melibatkan rasa (feeling) . Dalam hal ini penari dikatakan berhasil menjiwai sebuah tarian jika mampu menghayati isi atau makna tarian yang dibawakan dan berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton.  Misalnya dalam tari Jawa penghayatan ini disebut wirasa.  Tetapi ada pula pertunjukan tari yang mengacuhkan cerita, tidak menampilkan watak individual atau citra emosional seperti cinta, benci, atau takut. Penari memfokuskan perhatiannya pada keindahan desain dan dinamika gerak itu sendiri. Dalam tari klasik India, tarian semacam ini disebut nritta. atau pure dance Di Barat, komposisi serupa disebut tarian abstract. 

Pada pertunjukan ini memang alur dramatiknya tidak menjadi prioritas koreografer sehingga tidak begitu terlihat, tetapi koreografer lebih memfokuskan  komposisi tariannya atau bisa dikatakan perhatiannya pada keindahan desain dan dinamika gerak itu sendiri. Dan ekspresi tari itu bukan dari mimik. Tetapi bagaimana caranya penari membuat gerakan tanpa harus menampilkan ekspresi menangis, dan lainnya. Tetapi buatlah penonton yang menangis karena melihat gerakan penari tersebut atau dengan kata lain biarkan penonton yang menangkap ekspresi penari tersebut.  Oleh karena medium tari adalah gerak dan alat ekspresi tari adalah tubuh manusia, maka baik di dalam tarian abstrak maupun tarian mekanik, ekspresi' para penari yang melakukannya tak bisa dihapus tanpa bekas dari atas pentas: "...even in the so-called 'abstract (and mechanical) dance we have a feeling for the presence of consistency of movement quality that suggest quality of human behavior" (Cohen, 1968:90).

Terimakasih telah menyempatkan membaca sampai akhir....Salam Literasi😊🙏



Posting Komentar

Posting Komentar