Sekilas Tentang Baduy
sangitaharmoni.com- Sebutan orang Baduy atau urang baduy diberikan oleh orang- orang di luar wilayah baduy dan kemudian digunakan dalam laporan-laporan etnografi pertama oleh orang Belanda. Laporan tersebut disebut istilah ‘’badoei, badoewi’’. (Hoevell, 1845; Jacob dan Meijer, 1891; Pleyte,1909), dan akhirnya disebut Baduy. Laporan Spanoghe (1838: 295-305) = Budha, dan menduga diberi nama sungai Cibaduy yang mengalir dekat pemukiman mereka.
Istilah baduy diambil dari nama bukit bernama gunung baduy, yang didekatnya mengalir sungai cibaduy. Baduy = badwi, berasal dari kata badu atau badaw yang berarti lautan pasir, yakni salah satu suku arab yang hidup mengembara di daerah pasir zaman nabi Muhamad SAW digunakan untuk menyebut masyarakat yang tidak mau mengikuti agama Raulullah. Beberapa istilah untuk menyebut masyarakat baduy adalah urang kanekes, urang rawayan, urang tangtu, urang panamping atau urang baduy. Baduy dijadikan sebagai mandala (Kawasan suci) yang penduduknya memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang). Kabuyutan daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atauSunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati).
Perkawinan dalam masyarakat baduy bersifat endogami, yaitu perkawinan hanya dilakukan diantara orang-orang baduy saja. Sistem pemerintahan masyarakat baduy bercorak kesukuan dan disebut kapuunan karena puun merupakan jabatan tertinggi. Menurut pikukuh’peraturan adat’ jabatan puun berlangsung turun-temurun. Ada tiga orang puun di wilayah Baduy diantaranya puun cikeusik, cibeo, cikartawana. Kepercayaan masyarakat baduy disebut dengan sunda wiwitan. Agama ini mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Maha Esa). Orientasi, konsep dan kegiatan ditunjukan melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh (ketentuan adat mutlak).
Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh baduy adalah tanpa perubahan apa pun. Wilayah baduy dianggap sebagai pancer bumi (inti jagat atau pusat dunia). Orang baduy tidak mengenal tulisan, kecuali abjad hancaraka (alfabetis Jawa/Sunda Kuno, untuk menghitung hari baik. Oleh sebab itu, adat istiadat, agama, cerita nenek moyang, dsb. Tersimpan dalam tradisi tutur. (Garna,1993:120-121)
Upacara Masyarakat Baduy
1. Ngawalu
2. Ngalaksa
3. Seba
Konsep Budaya
Konsep Ambu
Konsep Nyi Pohaci
Konsep Keseimbangan
Sumber Referensi
Berasal dari kata kawalu ‘Kembali’. Ngawalu adalah upacara dalam rangka ‘kembalinya’ padi dari ladang ke lumbung, Kawalu = upacara rasa syukur dan terima kasih atas kemurahan Nyi Pohaci berkat keberhasilan panen padi, sekalipun hasi; panes tidak memuaskan. Menurut orang baduy, menanam padi di ladang pada hakikatnya ngaremokeun ‘menjodohkan/mengawinkan’ Dewi Padi (Nyi Pohaci) dengan Bumi, pasangannya.
Ngalaksa = kegiatan/upacara membuat laksa, semacam mie tetapi lebih lebar seperti kuetiaw, terbuat dari tepung beras. Upacara ngalaksa memiliki kesakralan. Inti tepung bahan laksa berasal dari tujuh rumpun padi yang ditanam di pupuhunan huma serang (di kapuunan) dan huma tauladan (di panamping), yang terhimpun ‘sakti bumi’. Pembuat laksa adalah perempuan pilihan (dikenal, berpengalaman), dan harus berpuasa selama pembuat laksa. Laksa biasanya dimasak dengan iwung ‘rebung’ yang dimasak dengan santan. Ngalaksa adalah lambang ucapan terimakasih bahwa huma mereka dilindungi karuhun dan terhindar dari malapetaka. Upacara tutup tahun dan penutup seluruh kegiatan perladangan orang baduy untuk tahun bersangkutan. Dilaksanakan tgl 21 bulan ketiga.
Seba adalah ‘datang mempersembahkan’. Seba dibagi menjadi 3: seba laksa, seba gede, seba leutik (diikuti oleh kaum pria). Seba laksa = datang kepada ratu penguasa yaitu pejabat pemerintah antara lain camat, bupati, wedana untuk mempersembahkan laksa. Kadang disertai hasil bumi. Seba gede dilakukan bila hasil panen baik (mempersembahkan palawija dan beras kepada ratu). Seba leutik dilakukan bila hasil panen kurang baik, bahan yang biasanya dipersembahkan kepada ratu berupa umbi-umbian dan sayuran. Upacara dilaksanakan tiap tahun pada tanggal 1 bulan kapat (tahun baru).
Kata ambu dalam Bahasa baduy dapat diartikan sebagai ibu (Wanita). Konsep ambu digunakan dalam tataran mikrokosmos (rumah tangga) sebagai sebutan orang tua Wanita (ibu) maupun dalam tataran makrokosmos (alam semesta).
Fungsi dan peran ambu:
1. Pemelihara
2. Pengayom
3. Pelindung
Ambu dalam tataran mikrokosmos sesungguhnya tidak semata-mata sebagai sosok ibu, Wanita, atau istri. Orang baduy megungkapkan konsep ambu dengan ambu aya di batin, ambu nya aya dilahir nyaeta ambu nu ngandung ‘ambu ada dalam batin, yang ada secara lahirilah ialah ambu yang mengandung dan melahirkan’.
Ambu dalam tataran makrokosmos, merupakan penguasa dan penganyom dunia. Konsepsi orang Baduy mengenai alam semesta adalah dunia ini terdiri atas ‘’dunia atas’’ yang disebut buana luhur atau buana ngungcung, ‘’ dunia tengah’’ yang disebut dengan buana tengah atau buana panca tengah, dan ‘’dunia bawah’’ yang disebut buana handap/ buana rarang.
Dunia atas merupakan tempat persemayaman Yang Maha Kuasa, yang disebut Nu Ngersakeun atau dikenal pula dengan sebutan nu kawasa. Dunia atas juga merupakan tempat asal tempat berasal dan berakhir perjalanan kehidupan manusia. Kehidupan di dunia atas sangatlah lama dan bahkan tak terbatas. Sebelum dilahirkan, roh suci seorang manusia berada di duia atas dan setelah 40 hari meninggal dunia rohnya akan Kembali ke sana. Penguasa dan penganyo, dunia atas disebut Ambu Luhur.
Bumi tempat manusia berpijak berada pada dunia tengah. Dunia tengah merupakan tempat manusia dan makhluk lain, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, makhluk halus, batu, air, dan udara. Penguasa dan pengayom dunia tengah disebut Ambu Tengah.
Dunia tengah menurut orang Baduy, terletak di dalam tanah dan digambarkan sebagai neraka. Manusia yang meninggal dunia selama 40 hari berada di dunia tengah, kecuali bagi roh manusia yang kotor akan tetap tinggal selama belum bersih. Penguasa dan pengayom dunia bawah disebut Ambu handap. Bagi roh manusia yang suci, setelah 40 hari akan diserahkan oleh Ambu Handap kepada Ambu Luhur.
Peran, tugas, dan fungsi Ambu baik dalam tataran mikrokosmos maupun makrokosmos tersebut mendudukan Wanita pada posisi penting. Wanita tidak menjadi ‘bawahan’ pria, tetapi berada dalam posisi yag terhormat. Menghormati Wanita berarti menghormati ambu.
Nyi Pohaci atau Nyi Pohaci Sang Hyang Asri atau disingkat Nyi Sri, pada dasarnya hampir sama dengan konsep Dewi Sri pada Masyarakat Jawa. Berkaitan dengan pertanian sawah (padi). Dia dianggap sebagai sumber atau pembawa kehidupan. Orang baduy mengatakan ‘’hirup turun ti nu rahayu, hirup lalaran pohaci’’ hidup berasal dari Tuhan, kehidupan berasal dari Pohaci.
Menanam padi di ladang, bagi masyarakat Baduy pada hakikatnya adalah ngareremokeun’menjodohkan atau mengawinkan’ antara Nyi Pohaci (Padi) dengan pasangannya; bumi. Masyarakat Baduy percaya bahwa Nyi Pohaci tinggal di dunia atas pada suatu lapisan yang disebut ‘’buana suci alam padang’’ yakni suatu lapisan yang suci tak bernoda yang terang benderang bermandikan cahaya. Nyi Pohaci dan roh manusia yang suci tinggal di suatu tempat yang disebut mandala hyang atau kahiyangan. Manusia di bumi, menurut keyakinan orang baduy harus berbuat baik dan banyak beribadah agar menjadi ‘’tetangga’’ Nyi Pohaci di mandala hyang dan mendapat kehidupan yang baik darinya.
Padi yang melambangkan Nyi Pohaci tersebut menyiratkan bahwa Wanita merupakan sosok yang harus di hormati, dijunjung, dan diperlakukan, dengan sebaik-baiknya. Wanita dianggap sebagai sebagai sumber kehidupan, sehingga tidak aka nada kekuatan dan kecerahan kehidupan tanpa adanya Wanita.
Keseimbangan atauu keharmonisan bersifat penyetaraan pria dan Wanita. Adat baduy mengajarkan ‘’lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung’’ Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh diambung.
Pikukuh ‘aturan adat’ tersebut menyiratkan bahwa segala sesuatu harus dijaga sebagaimana adanya, tidak boleh terjadi ‘’rekayasa’’ yang akhirnya menyebabkan sesuatu berubah dari yang sesungguhnya.
Eka Permana, Cecep R. 2005. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Posting Komentar