Oleh: Euis Karmila
Golok Dalam Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian
Isi naskah Sanghyang Siksakandang Karesian tahun 1518 di Kerajaan Pajajaran, ada sejenis senjata yang khusus dimiliki atau senjata pegangan sang prabu (golongan bangsawan, ksatria, raja) yang disebut dengan golok.
Pada lembar ke XVII naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dinyatakan sebagai berikut:
Sa(r)wa lwir[a] ning teuteupaan ma tĕlu ganggaman palain.
Ganggaman di sang prabu ma: pĕdang, abĕt, pamuk, golok, peso teundeut, kĕris. Raksasa pina[h]ka dewanya, ja paranti maehan sagala.
Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. DÄ•tya pina[h]ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun.
Ganggaman sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina[h]ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala.
Nya mana tĕluna ganggaman palain deui di sang prĕbu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.
Sa(r)wa lwir[a] ning ukir ma: dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru were, ditiru singha; sing sawatek ukir-ukiran ma, marangguy tanya.
Terjemahan:
Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda.
Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh.
Senjata orang tani ialah: kujang, baliung, patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum.
Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu.
Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prabu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.
Segala macam ukiran ialah: naga-nagaan, barong-barongan, ukiran burung, ukiran kera, ukiran singa, segala macam ukiran, tanyalah maranggi.
Golok sunda dibagi menjadi dua diantaranya:
1. golok pakai/ bedog gawe/ pakakas, bedog daging/dapur, bedog kelapa, bedog kebon, dan sebagainya.
2. golok soren/ golok silat/pakarang golok pakarang dipakai untuk beladiri/ berkelahi (silat) pegangan yang di soren di pinggang memakai sarangka (sarung) oleh para pendekar atau jawara (Banten, Betawi). Pakarang adalah senjata-senjata yang dibuat khusus untuk para raja dan petinggi-petinggi di lingkungan kerajaan.
Sumber : https://haloedukasi.com |
Golok (bedog) sunda biasanya mempunyai bilah yang panjang sekitar 30 cm sampai dengan 40 cm, sedangkan bilah golok pendek atau kurang dari 30 cm. Golok (bedog) sunda mempunyai panjang bilah sekitar lebih dari 40cm disebut kolewang/ gobang.
Bagian penting sebuah golok atau bedog yaitu bilah (wilah). Bilah golok dimulai dari buntut atau paksi yang merupakan bagian ekor pangkal kemudian disatukan ke dalam pada pegangan golok (perah), itu merupakan dunia bawah yaitu tekad. Badan wilah diantaranya perut/beuteung adalah dunia tengah. Badan wilah pada bagian sisi adalah tajam sebagai lampah dan bagian tumpul disebut tonggong sebagai ucap. Punggung bilah golok sunda yang melengkung dikenal dengan istilah sunda bentik. Ujung bilah golok disebut dengan congo atau papatoek, adalah dunia atas.
Sumber: Bagian-bagian golok (estetika primordial) |
Golok atau bedog menggambarkan konsep tritangtu yang terdiri dari tekad, ucap, lampah. Bedog menggambarkan dualitas yaitu tajam berkarakter laki-laki dan tumpul berarti perempuan.
Secara umum Golok sunda mempunyai bentuk gagang atau perah melengkung dan mempunyai ujung berbentuk bulat (eluk). Bentuk perah yang sedikit miring dan melengkung berfungsi supaya golok dapat digenggam dengan kuat dan nyaman. Bentuk ujung perah bulat bertujuan supaya jari kelingking terkait, menahan genggaman tangan dan tidak lepas tergelincir.
Sarung golok disebut sarangka, tujuannya agar golok mudah dan aman untuk dibawa, diselipkan (disoren) dipinggang. Bentuk sarangka mengikuti bentuk bilah di dalamnya, sarangka biasanya terbuat dari kayu, atau kulit hewan. Sarangka yang dilengkapi dengan asesoris yang disebut barlen.
Referensi
Danasasmita, Saleh & dan kawan-kawan, Sanghyang Siksakandang Karesian Transkripsi dan Terjemahan, Dirjen Kebudayaan Depdikbud. 1987. Bandung
Sumardjo, Jakob.2014. Estetika Paradoks. Kelir
https://pamuksunda.blogspot.com/ diakses pada Kamis, 28 Agustus 2008
Posting Komentar