wYDCW47if6cKleiypRwqUq9HZh2kI0aAhad9DlQd
Bookmark

Marxisme dan Kesadaran Palsu

 
Marxisme, Kesadaran Palsu

Oleh: Euis Karmila
sangitaharmoni.com-  Marxisme merupakan filosofi yang diciptakan sebagai respons terhadap Revolusi Industri, dengan Kapitalis menjadi lebih kaya dan kelas pekerja yang nyaris tidak mendapat gaji yang cukup untuk bertahan  hidup. Karl Marx dan Friedrich Engels abad ke-19 menganalisis “perjuangan kelas” ini dalam The Communist Manifesto, atau dengan kata lain  marxisme adalah teori dan metode pembebasan diri kelas pekerja. Hal ini dilakukan selain untuk menganalisis, tetapi juga untuk  mengkritik perkembangan masyarakat kelas dan terutama kapitalisme serta peran perjuangan kelas dalam perubahan ekonomi, sosial, dan politik sistemik.

Menurut teori Marxis, dalam masyarakat kapitalis, konflik kelas timbul karena kontradiksi antara kepentingan material kaum proletar yang tertindas dan yang dieksploitasi (suatu kelas buruh upahan yang dipekerjakan untuk menghasilkan barang dan jasa) dan kaum borjuis (kelas penguasa yang memiliki sarana untuk produksi dan ekstrak kekayaannya melalui penggunaan produk surplus yang diproduksi oleh proletariat dalam bentuk laba).

Dilansir dari greelane.com,  Marx mengatakan bahwa sebelum pekerja mengembangkan kesadaran kelas, mereka sebenarnya hidup dengan kesadaran palsu. (Meskipun Marx tidak pernah menggunakan istilah yang sebenarnya, ia mengembangkan ide-ide yang dicakupnya). Pada dasarnya, kesadaran palsu adalah kebalikan dari kesadaran kelas. Individualistis daripada kolektif di alam, menghasilkan pandangan diri sebagai satu kesatuan yang terlibat dalam persaingan dengan orang lain dari status sosial dan ekonomi seseorang, bukan sebagai bagian dari kelompok dengan pengalaman terpadu, perjuangan, dan kepentingan. Menurut Marx dan ahli teori sosial lain yang mengikutinya, kesadaran palsu itu berbahaya karena mendorong orang untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang berlawanan dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan politik mereka. Kesadaran palsu juga berarti  persepsi tentang hubungan seseorang dengan sistem sosial dan ekonomi yang bersifat individual, dan kegagalan untuk melihat diri sendiri sebagai bagian dari kelas dengan kepentingan kelas tertentu relatif terhadap tatanan ekonomi dan sistem sosial.

Sebuah contoh bagaimana hegemoni budaya bekerja untuk menghasilkan kesadaran palsu yang baik dan benar  secara historis menjadi keyakinan bahwa mobilitas ke atas adalah mungkin bagi semua orang, terlepas dari keadaan kelahiran mereka, selama mereka memilih untuk mendedikasikan diri pada pendidikan, latihan, dan kerja keras. Di Amerika Serikat, keyakinan ini dikemas dalam cita-cita "Mimpi Amerika". Memandang masyarakat dan tempat seseorang di dalamnya berdasarkan seperangkat asumsi yang berasal dari pemikiran "akal sehat" menghasilkan persepsi menjadi individu daripada bagian dari kolektif. Pada saat Marx menulis tentang kesadaran kelas, ia menganggap kelas sebagai hubungan orang-orang dengan alat-alat produksi pemilik versus pekerja. Meskipun model ini masih berguna, kita juga dapat memikirkan stratifikasi ekonomi masyarakat kita ke dalam kelas yang berbeda berdasarkan pendapatan, pekerjaan, dan status sosial. Data demografis selama beberapa dekade mengungkapkan bahwa Impian Amerika dan janjinya akan mobilitas ke atas sebagian besar hanyalah mitos. Sebenarnya, kelas ekonomi tempat seseorang dilahirkan adalah penentu utama bagaimana dia akan adil secara ekonomi sebagai orang dewasa. Namun, selama seseorang mempercayai mitos tersebut, dia akan terus hidup dan beroperasi dengan kesadaran palsu. Tanpa kesadaran kelas, mereka akan gagal untuk mengenali bahwa sistem ekonomi bertingkat di mana mereka berada. 

Menurut Charis Barker(2000) dalam bukunya Cultural Studies mengatakan bahwa, ada dua aspek dalam tulisan Marx yang dapat dijadikan landasan untuk menelusuri pemikiran-pemikiran yang fokus pada pembahasan 'kesadaran palsu'.  Pertama, Marx (1961; Marx dan Engels, 1970) berpendapat bahwa ide- ide yang dominan dalam masyarakat adalah ide kelas berkuasa. Kedua, dia menyatakan bahwa apa yang kita persepsi sebagai karakter sejati relasi sosial di dalam kapitalisme sebenarnya adalah mistifikasi pasar. Jadi, kita menerima gagasan bahwa kita bebas menjual tenaga kita, dan bahwa kita mendapatkan harga yang pantas untuk itu, karena inilah cara dunia sosial tampil di hadapan kita. Namun, Marx berpendapat bahwa kapitalisme melibatkan eksploitasi pada level produksi melalui pemerasan (ekstraksi) nilai-surplus dari kelas proletar. Walhasil, permukaan relasi egaliter pasar menutupi struktur eksploitasi yang ada di dalam.

Di sini kita memiliki dua versi ideologi yang berfungsi untuk melegitimasi kepentingan sepihak kelas berkuasa, yaitu: 
1.ide sebagai pernyataan koheren tentang dunia dan dominannya ide-ide borjuis atau kapitalis;
2. pandangan-dunia yang merupakan hasil sistematis dari struktur kapitalisme yang mengarahkan kita kepada pemahaman yang tidak tepat tentang dunia sosial.

Bagi Marxisme, ide-ide tidak terlepas dari kondisi material dan historis produksi mereka. Sebaliknya, sikap dan keyakinan masyarakat diyakini terkait secara sistematis dan struktural dengan kondisi-kondisi material eksistensinya. Namun, konsepsi yang begitu luas tentang ide dan kondisi material ini belum menjawab sejumlah pertanyaan penting. 
1. Bagaimana ide-ide tersebut terkait dengan kondisi material eksistensi?
2. Jika model basis-suprastruktur tidak memadai, sebagaimana dikatakan kebanyakan pemikir dalam cultural studies, lalu seperti apa hubungan antara ide dengan kondisi material?
3.Sejauh mana ideologi dapat dikatakan 'palsu"?
4. Dapatkah kita dikatakan menjalani kehidupan palsu? Bagaimana kita tahu?
5. Siapa yang mampu mengetahui 'kebenaran' dan memisahkannya dari ideologi? Bagaimana itu mungkin? 
6.  Jika persoalan ideologi bukan soal kebenaran per se, namun soal kelayakan, yang berarti ideologi tidak terlalu palsu kecuali sebagian saja, lalu dari sudut pandang mana penjelasan yang memadai tentang hal ini dapat dikemukakan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan konsep ideologi yang mungkin sering ada di pikiran sebagian orang, yang berpengaruh pada konsep ideologi dan kemudian dari pemikiran tersebut dikembangkan oleh Altusser dan Gramsci, sebagai pandangan-pandangan dalam menjustifikasi tindakan tehadap kekuasaan, kesetaraan, tetapi tidak disetarakan dengan kebenaran.  Dalam hal ini,  konsep ideologi yang dapat diterima adalah yang dapat dipertukarkan dengan pandangan Foucauldian mengenai kekuasaan dan pengetahuan. Karena pada hakikatnya, ideologi tidak dapat dilihat sebagai media atau alat diskursus yang mengandung konsekuensi  spesifik terhadap kekuasaan  pada semua level hubungan sosial termasuk justifikasi  dan pemeliharaan kelompok penguasa.  


Posting Komentar

Posting Komentar