wYDCW47if6cKleiypRwqUq9HZh2kI0aAhad9DlQd
Bookmark

Subyektivitas dan Obyektivitas: Nilai-nilai dalam Pengkajian Sejarah

Sejarah, objektivitas dan subjektivitas

Oleh: Euis Karmila
sangitaharmoni.com- Ketika berbicara penulisan sejarah tidak terlepas dari obyektivitas dan subyektivitas, para filsuf hanya  memperkatikan sejauh mana nilai-nilai etis atau politis mempengaruhi seorang sejarawan dalam membuat gambaran-gambaran  sejarah. Subyektif dan obyektif dapat disamakan dengan terpengaruh tidaknya seorang sejarawan oleh nilai-nilai tertentu. Sejak zaman Renaissance, para sejarawan sadar bahwa penulisan sejarah diresapi oleh sifat yang subyektif, oleh nilai-nilai. Semenjak awal abad ke-19, para sejarawan umum berpendapat bahwa penulisan obyektif harus selalu diusahakan, akan tetapi mereka juga sadar bahwa  hal tersebut jarang terlaksana.  Berikut ini alasan-alasan yang membela subyektivisme dan obyektivisme.

Alasan yang Membela Subyektivisme

a. Alasan Induksi

 G. Myrdal berpendapat  bahwa penulisan sejarah selalu bersifat subyektif, dan harus mengenyampingkan pengaruh nilai-niali penulisnya. Tetapi hal tersebut dibantah oleh Nagel yang menyatakan bahwa, justru nilai-nilai yang paling mewarnai pandangan seorang sejarawan, yang tanpa disadarinya, karena bagaimana mungkin bisa mengesampingkannya? Beberapa orang berpendapat bahwa pendapat mengenai sesuatu bebas nilai, padahal justru malah nilai itu yang dipermasalahkan. Pandangan yang dibelokan dengan kata lain penolakan mungkin didalamnya terdapat  penolakan politis yang berpengaruh terhadap sistem kapitalis. Mungkin pertanyaan yang akan memperkuat alasan induksi adalah apabila seorang sejarawan berusaha mengesampingkan nilai-nilai etis dan politis, maka dapat disangsikan apakah itu akan berhasil?

b.Alasan Relativisme

Kebanyakan sejarawan menggunakan alasan ini, karena sangat masuk akal dan yakin dengan kebenarannya. Ch.Bread dan J. Romein membedakan antara:

1. masa silam sendiri;

2. bekas-bekas yang ditinggalkan  pada masa silam, yang berwujud dokumen, prasati atau artefak, dan sebagainya;

3. bagaimana kita menggambarkan masa silam tersebut.

Pada peralihan dari 1 dan 2 sudah menggiring penulisan sejarah menjadi subyektif, karena sumber-sumber yang tersisa dari masa silam pada umumya merupakan  laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada zaman dahulu, termasuk kesaksian-kesakian subyektif dan perkara apa yang menurut mereka anggap itu menjadi penting, sehingga hal tersebut  sudah menjadi bukti subjektif karena  diwarnai oleh nilai-nilai yang berlaku pada masa silam. Tetapi unsur subyektif yang melekat pada perallihan dari 2 ke 3, tidak dapat dihindarkan.

 Untuk nilai subyektivitas pertama bergantung pada hasil dari kepribadian sejarawan sendiri dalam memperlakukan apa yang ada didalam pola pikirnya, kemudian menulis nilai-nilai serta pendapat-pendapat yang tersirat dalam penulisan sejarah. Selain itu, perlu diperhitungkan seorang sejarawan apakah terlibat dalam sebuah komunitas, partai,atau kelompok sosial tertentu, yang dapat mempengaruhi dalam penulisan sejarah.  Tetapi dengan mawas diri secara kritis, serta membandingkan tulisan sendiri dengan  tulisan  sejarawan yang berhaluan lain, kedua unsur subyektivitas tersebut masih dapat dilacak, dan dihindarkan.  Tetapi untuk unsur subyektivitas ketiga  adalah mengenai waktu yang tidak dapat dieliminir. Karena mau tidak mau, seorang sejarawan harus beradaptasi dengan zaman, artinya ia menerima nilai-nilai  yang dianut pada zamannya itu. 

Romein dan E.H Carr (1892-1982) berpendapat bahwa, sekurang-kurangnya, sejarawan harus mencoba untuk mengatasi kerangka zamannya, dengan menempatkan diri di masa mendatang. Masa mendatang ialah masyarakat tanpa kelas seperti yang digambarkan oleh Marx. 

Pendekatan suprahistoris yang dianggap bebas nilai-nilai pribadi atau yang terikat pada zamannya. Sehingga ketika pendirian ini diwujudkan akan melahirkan nilai obyektivitas, tetapi masalahnya adalah  asumsi yang menopang pandangan ini (masyarakat tanpa kelas) mengacu  pada suatu filsafat sejarah yang spekulatif  yaitu filsafat sejarah marxis yang dapat disangsikan obyektivitasnya. 

Penalaran yang cukup aneh ketika berusaha untuk menyelamatkan obyektivitas atau dengan kata lain konsep obyektivitas harus diangkat ke dalam subyektivitas dan terpaksa mengorbankan  sebuah konsep yang berharga (dalam hal ini obyektivitas penulisan sejarah). Selain itu, bukan tugas filsafat untuk menyelamatkan konsep -konsep yang sangat kita gemari, melainkan untuk berefleksi tanpa prasangka. 

c. Alasan Bahasa

Rasa haru seorang sejarawan harus turut  begema dalam penulisannya. Terkadang, pemakaian bahasa yang evaluatif sekalipun dapat mengandung unsur subyektivitas dan itu perlu dilakukan. Sebagaimana penalaran  menurut A.R Louch, menurutnya tugas sejarawan ialah membangkitkan kembali masa silam.  Dalam hal ini, memunculkan teks-teks historis seperti agresif, bersahabat, bermusuhan dan sebagainya.   Kata-kata serupa  mempunyai suatu nada perasaan yang berdasarkan nilai-nilai. Kata-kata yang  mengandung kadar perasaan  dapat dijadikan batu pijakan untuk membangun kembali masa silam. Karena menciptakan  kembali masa silam  hanya dapat terjadi lewat perasaan-perasaan yang  dibangkitkan oleh kata-kata evaluatif, yaitu pemakaian  bahasa yang berdasarkan nilai-nilai. Sifat bahasa  yang dipakai sejarawan , memaksanya melukiskan masa silam secara subyektif. 

d. Alasan Idealistis

Kenyataan merupakan hasil dari budi manusia. Kenyataan memang kita maklumi sejauh mana  kita berpikir mengenai kenyataan.  Kenyataan itu hanya ada sejauh kita menyadari kenyataan. ''To be is to be perceived'', kata Berkeley (1685-1753). Seorang sejarawan tidak akan pernah bisa menulis secara obyektif, karena obyektivitas mengandaikan pemisahan antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. 

e. Alasan Marxis

Bagi seorang marxis, pengetahuan kita selalu berakar pada pergaulan kita dengan kenyataan. Bagi para marxis, kenyatan itu bukanlah kenyataan fisik atau pun historis yang secara pasif berhadapan di muka kita, melainkan kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Sifat  kenyataan sosial tidak dapat ditampilkan dengan beberapa rumus sosiologis yang obyektif, melainkan baru nampak bila seorang revolusioner mencoba untuk merombak  kenyataan sosial. Tujuan yang dianut subjek, menentukan  bagaimana kenyataan menampakan diri kepada kita. Sama halnya dalam idealisme subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tidak mungkin juga menulis sejarah secara obyektif.


Sejarah, objektivitas dan subjektivitas

Alasan yang Membela Obyektivisme 

Perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual, tidak esensial. Karena obyektivitas dalam hasil  penelitian sains jarang disangsikan, maka cendrung membela kemungkinan penulisan sejarah yang obyektif. Para pembela objektivisme sering bersikap defensif,  hanya melawan alasan-alasan subyektivitas dan jarang memaparkan kebenaran obyektivisme sendiri. 

a. Memilih Obyek Penelitian

Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan  mungkin didorong oleh pertimbangan subyektif, tetapi tidak berarti bahwa hasil penelitiannya  juga bersifat subyektif. Seorang ahli fisika  juga ada minat pribadi terhadap gejala-gejala tertentu, tetapi ini tidak mempengaruhi obyektivitas pada penelitiannya. 

b. Wertung dan Wertbeziehung

Seorang sejarawan bersikap subyektif karena bahan yang ditelitinya adalah perbuatan manusia pada masa silam yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Wertbeziehung (pertalian dengan nili-nilai) , ketika seorang pelaku sejarah menghubungkan perbuatan itu dengan nilai-nilai yang umum dianut masyarakat pada zaman itu.  Tetapi, Wertung turut memainkan peranan, bila penilaian seorang sejarawan mengenai seorang tokoh sejarah  diilhami oleh nilai tertentu.  Misalnya Perang Diponogoro mengacaukan  kemakmuran rakyat Jawa. Kata mengacaukan tersebut mengandung suatu penilaian sekaligus suatu evaluasi tetapi diungkapkan dengan suatu kata umum dan samar-samar, hal tersebut harus dirinci lebih lanjut karena ungkapan tersebbut tidak ada sangkut pautnya dengan subyektivitas seorang sejarawan.

c. Alasan Seleksi

Mengadakan seleksi berarti mengacaukan sifat asli  dari masa silam  dan membuktikan subyektivitas seorang sejarawan. Ch. Bread mengatakan bahwa seorang sejarawan selalu subjektif karena sambil melacak kembali rantai sebab dan akibat ke arah masa silam,  ia berhenti pada suatu saat tertentu.  Mengapa tidak diteruskan? Jelaslah, bahwa kita ingin melacak sebab-sebab Revolusi Prancis, tidak perlu  ke zaman  Bapak Adam. Ketidaklengkapan suatu uraian historis bukan berarti subyektivitas.

d. Alasan  Antiskeptisisme atau Antirelativisme

Menurut aliran subyektivis, semua penulisan sejarah dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh seorang sejarawan atau  yang umum diterima pada saat ia menulis uraian historisnya. Subyektivisme menjurus ke relativisme dan itu mengantar kita ke pintu gerbang skeptisisme historis (pendapat bahwa pengkajian sejarah tidak menghasilkan pengetahuan yang dapat diandalkan). Seorang skeptikus, secara implikasi masih mempertahankan  kemungkinan memperoleh pengetahuan  historis yang dapat dipercaya sekalipun  secara eksplisit menolak kemungkinan tersebut. Seorang skeptikus baru dapat menolak segala pengetahuan historis  sebagai subyektif  dan yang tak dapat dipercaya, bila ia mengandalkan kriteria yang dapat dipergunakan untuk menunjukan mana pengetahuan historis yang obyektif dan yang dapat dipercaya.  Oleh karenna itu , seorang skeptikus historis harus menerima kemungkinan untuk menulis sejarah lepas dari pengaruh nilai-nilai.  

e. Alasan dan Sebab Musabab

Suatu alasan hanya akan kuat dan teruji ketika ada data-data penguatnya. Artinya apabila pengarang menyebut alasan-alasan yang mendukung pendapatnya, maka itu akan lebih bisa dipercaya atau tahan uji, maka siapapun tidak akan menolak pendapatnya. 

f. Alasan Propaganda

Propaganda selalu bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang-orang yang belum menganut nilai-nilai itu. Rupanya nilai-nilai itu lebih merupakan kesimpulan daripada unsur dalam sebuah panalaran. Untuk mencapai propaganda harus mengalihkan untuk memaklumi nilai-nilai dan  tidak menganut nilai-nilai. Intinya kebalikannya dari subyektivitas. 

g. Alasan Analogi

Para obyektivis membela kadar objektivitas dalam pengetahuan sejarah dengan membandingkan pengkajian sejarah dengan ilmu eksakta. Ketika  kita menilai pengetahuan  yang tercapai dalam ilmu eksakta sebagai obyektif, maka  kita juga harus memberi perlakuan yang sama kepada pengkajian sejarah. Akan tetapi  ketika usaha untuk membela kadar obyektivitas dalam pengkajian sejarah terkadang terasa agak dibuat-buat atau melebih-lebihkan. 

Perbedaan pendapat berdasarkan keyakinan politis atau etis tidak dapat dipecahkan, hal tersebut berpengaruh pada pengkajian sejarah itu sendiri, maka ketika mendengar suara-suara '' mengilmiahkan '' pengkajian sejarah  masuk akal juga.   Selain itu, tradisi yang sudah berabad-abad lamanya berlaku dalam suatu cabang ilmu, tidak mudah dibuang  begitu saja. Misalnya  sosiologi, psikologi, dan ekonomi juga tidak luput dari unsur-unsur subyektivisme. Karena merapatkan pengkajian sejarah pada ilmu-ilmu sosial tidak  menjamin agar kadar  obyektivitas dalam penelitian sejarah akan ditingkatkan. 

Sumber:
Anekersmit. 1987. Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia
Posting Komentar

Posting Komentar