Alasan yang Membela Subyektivisme
a. Alasan Induksi
G. Myrdal berpendapat bahwa penulisan sejarah selalu bersifat subyektif, dan harus mengenyampingkan pengaruh nilai-niali penulisnya. Tetapi hal tersebut dibantah oleh Nagel yang menyatakan bahwa, justru nilai-nilai yang paling mewarnai pandangan seorang sejarawan, yang tanpa disadarinya, karena bagaimana mungkin bisa mengesampingkannya? Beberapa orang berpendapat bahwa pendapat mengenai sesuatu bebas nilai, padahal justru malah nilai itu yang dipermasalahkan. Pandangan yang dibelokan dengan kata lain penolakan mungkin didalamnya terdapat penolakan politis yang berpengaruh terhadap sistem kapitalis. Mungkin pertanyaan yang akan memperkuat alasan induksi adalah apabila seorang sejarawan berusaha mengesampingkan nilai-nilai etis dan politis, maka dapat disangsikan apakah itu akan berhasil?
b.Alasan Relativisme
Kebanyakan sejarawan menggunakan alasan ini, karena sangat masuk akal dan yakin dengan kebenarannya. Ch.Bread dan J. Romein membedakan antara:1. masa silam sendiri;
2. bekas-bekas yang ditinggalkan pada masa silam, yang berwujud dokumen, prasati atau artefak, dan sebagainya;
3. bagaimana kita menggambarkan masa silam tersebut.
Pada peralihan dari 1 dan 2 sudah menggiring penulisan sejarah menjadi subyektif, karena sumber-sumber yang tersisa dari masa silam pada umumya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada zaman dahulu, termasuk kesaksian-kesakian subyektif dan perkara apa yang menurut mereka anggap itu menjadi penting, sehingga hal tersebut sudah menjadi bukti subjektif karena diwarnai oleh nilai-nilai yang berlaku pada masa silam. Tetapi unsur subyektif yang melekat pada perallihan dari 2 ke 3, tidak dapat dihindarkan.
Untuk nilai subyektivitas pertama bergantung pada hasil dari kepribadian sejarawan sendiri dalam memperlakukan apa yang ada didalam pola pikirnya, kemudian menulis nilai-nilai serta pendapat-pendapat yang tersirat dalam penulisan sejarah. Selain itu, perlu diperhitungkan seorang sejarawan apakah terlibat dalam sebuah komunitas, partai,atau kelompok sosial tertentu, yang dapat mempengaruhi dalam penulisan sejarah. Tetapi dengan mawas diri secara kritis, serta membandingkan tulisan sendiri dengan tulisan sejarawan yang berhaluan lain, kedua unsur subyektivitas tersebut masih dapat dilacak, dan dihindarkan. Tetapi untuk unsur subyektivitas ketiga adalah mengenai waktu yang tidak dapat dieliminir. Karena mau tidak mau, seorang sejarawan harus beradaptasi dengan zaman, artinya ia menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu.
Romein dan E.H Carr (1892-1982) berpendapat bahwa, sekurang-kurangnya, sejarawan harus mencoba untuk mengatasi kerangka zamannya, dengan menempatkan diri di masa mendatang. Masa mendatang ialah masyarakat tanpa kelas seperti yang digambarkan oleh Marx.
Pendekatan suprahistoris yang dianggap bebas nilai-nilai pribadi atau yang terikat pada zamannya. Sehingga ketika pendirian ini diwujudkan akan melahirkan nilai obyektivitas, tetapi masalahnya adalah asumsi yang menopang pandangan ini (masyarakat tanpa kelas) mengacu pada suatu filsafat sejarah yang spekulatif yaitu filsafat sejarah marxis yang dapat disangsikan obyektivitasnya.
Penalaran yang cukup aneh ketika berusaha untuk menyelamatkan obyektivitas atau dengan kata lain konsep obyektivitas harus diangkat ke dalam subyektivitas dan terpaksa mengorbankan sebuah konsep yang berharga (dalam hal ini obyektivitas penulisan sejarah). Selain itu, bukan tugas filsafat untuk menyelamatkan konsep -konsep yang sangat kita gemari, melainkan untuk berefleksi tanpa prasangka.
c. Alasan Bahasa
Rasa haru seorang sejarawan harus turut begema dalam penulisannya. Terkadang, pemakaian bahasa yang evaluatif sekalipun dapat mengandung unsur subyektivitas dan itu perlu dilakukan. Sebagaimana penalaran menurut A.R Louch, menurutnya tugas sejarawan ialah membangkitkan kembali masa silam. Dalam hal ini, memunculkan teks-teks historis seperti agresif, bersahabat, bermusuhan dan sebagainya. Kata-kata serupa mempunyai suatu nada perasaan yang berdasarkan nilai-nilai. Kata-kata yang mengandung kadar perasaan dapat dijadikan batu pijakan untuk membangun kembali masa silam. Karena menciptakan kembali masa silam hanya dapat terjadi lewat perasaan-perasaan yang dibangkitkan oleh kata-kata evaluatif, yaitu pemakaian bahasa yang berdasarkan nilai-nilai. Sifat bahasa yang dipakai sejarawan , memaksanya melukiskan masa silam secara subyektif.d. Alasan Idealistis
Kenyataan merupakan hasil dari budi manusia. Kenyataan memang kita maklumi sejauh mana kita berpikir mengenai kenyataan. Kenyataan itu hanya ada sejauh kita menyadari kenyataan. ''To be is to be perceived'', kata Berkeley (1685-1753). Seorang sejarawan tidak akan pernah bisa menulis secara obyektif, karena obyektivitas mengandaikan pemisahan antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.e. Alasan Marxis
Alasan yang Membela Obyektivisme
Perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual, tidak esensial. Karena obyektivitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan, maka cendrung membela kemungkinan penulisan sejarah yang obyektif. Para pembela objektivisme sering bersikap defensif, hanya melawan alasan-alasan subyektivitas dan jarang memaparkan kebenaran obyektivisme sendiri.
a. Memilih Obyek Penelitian
Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan mungkin didorong oleh pertimbangan subyektif, tetapi tidak berarti bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subyektif. Seorang ahli fisika juga ada minat pribadi terhadap gejala-gejala tertentu, tetapi ini tidak mempengaruhi obyektivitas pada penelitiannya.
b. Wertung dan Wertbeziehung
Seorang sejarawan bersikap subyektif karena bahan yang ditelitinya adalah perbuatan manusia pada masa silam yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Wertbeziehung (pertalian dengan nili-nilai) , ketika seorang pelaku sejarah menghubungkan perbuatan itu dengan nilai-nilai yang umum dianut masyarakat pada zaman itu. Tetapi, Wertung turut memainkan peranan, bila penilaian seorang sejarawan mengenai seorang tokoh sejarah diilhami oleh nilai tertentu. Misalnya Perang Diponogoro mengacaukan kemakmuran rakyat Jawa. Kata mengacaukan tersebut mengandung suatu penilaian sekaligus suatu evaluasi tetapi diungkapkan dengan suatu kata umum dan samar-samar, hal tersebut harus dirinci lebih lanjut karena ungkapan tersebbut tidak ada sangkut pautnya dengan subyektivitas seorang sejarawan.
c. Alasan Seleksi
Mengadakan seleksi berarti mengacaukan sifat asli dari masa silam dan membuktikan subyektivitas seorang sejarawan. Ch. Bread mengatakan bahwa seorang sejarawan selalu subjektif karena sambil melacak kembali rantai sebab dan akibat ke arah masa silam, ia berhenti pada suatu saat tertentu. Mengapa tidak diteruskan? Jelaslah, bahwa kita ingin melacak sebab-sebab Revolusi Prancis, tidak perlu ke zaman Bapak Adam. Ketidaklengkapan suatu uraian historis bukan berarti subyektivitas.
d. Alasan Antiskeptisisme atau Antirelativisme
Menurut aliran subyektivis, semua penulisan sejarah dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh seorang sejarawan atau yang umum diterima pada saat ia menulis uraian historisnya. Subyektivisme menjurus ke relativisme dan itu mengantar kita ke pintu gerbang skeptisisme historis (pendapat bahwa pengkajian sejarah tidak menghasilkan pengetahuan yang dapat diandalkan). Seorang skeptikus, secara implikasi masih mempertahankan kemungkinan memperoleh pengetahuan historis yang dapat dipercaya sekalipun secara eksplisit menolak kemungkinan tersebut. Seorang skeptikus baru dapat menolak segala pengetahuan historis sebagai subyektif dan yang tak dapat dipercaya, bila ia mengandalkan kriteria yang dapat dipergunakan untuk menunjukan mana pengetahuan historis yang obyektif dan yang dapat dipercaya. Oleh karenna itu , seorang skeptikus historis harus menerima kemungkinan untuk menulis sejarah lepas dari pengaruh nilai-nilai.
e. Alasan dan Sebab Musabab
Suatu alasan hanya akan kuat dan teruji ketika ada data-data penguatnya. Artinya apabila pengarang menyebut alasan-alasan yang mendukung pendapatnya, maka itu akan lebih bisa dipercaya atau tahan uji, maka siapapun tidak akan menolak pendapatnya.
f. Alasan Propaganda
Propaganda selalu bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang-orang yang belum menganut nilai-nilai itu. Rupanya nilai-nilai itu lebih merupakan kesimpulan daripada unsur dalam sebuah panalaran. Untuk mencapai propaganda harus mengalihkan untuk memaklumi nilai-nilai dan tidak menganut nilai-nilai. Intinya kebalikannya dari subyektivitas.
Posting Komentar