sangitaharmoni.com- Kabupaten Kuningan Jawa Barat selain terkenal dengan ikon Kuda Kuningan, ternyata terdapat tugu bokor yang menjadi perhatian berkaitan dengan asal-usul nama Kuningan. Ada banyak versi perihal asal-usul nama Kuningan berdasarkan tradisi dan legenda yang ada di masyarakat di antaranya sebagai berikut.
Pertama, terdapat cerita legenda di daerah Ciamis dan Kuningan yang berkaitan dengan bokor, yang merupakan tempat penyimpanan barang dan perhiasan yang terbuat dari logam kuningan. Kedua cerita tersebut berbicara tentang sebuah bokor kuningan yang digunakan untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama. Dalam cerita Ciung Wanara di Ciamis, bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh bernama Ajar Sukaresmi yang bertapa di Gunung Padang. Raja Galuh dari Bojong Galuh, Desa Karangkamulyan sekarang, yang terletak sekitar 12 km sebelah timur Kota Ciamis, meminta pendeta itu untuk mengetahui apakah istrinya hamil.
Pendeta itu akan mati karena kesalahan menaksir. Sesungguhnya, perutnya lebih kecil karena ditutupi kain dengan bokor kuningan yang membuatnya terlihat hamil. Sebenarnya, tindakan ini dilakukan untuk mencelakakan pendeta Ajar Sukaresmi. Pendeta mengira istri raja hamil setelah memeriksa perutnya. Setelah mendengar tuduhan yang salah tersebut, raja sangat gembira dan segera memerintahkan agar pendeta dihukum mati karena tuduhan yang salah. Namun, ternyata istri Raja Galuh hamil. Kemudian raja menjadi marah dan secara spontan menendang kuali, bokor kuningan, dan penjara besi di sekitar istananya. Penjara besi jatuh di Kandangwesi, sebuah tempat di selatan Garut, kuali (bahasa Sunda kawali) jatuh di Kawali, yang sekarang merupakan kota kecamatan di Ciamis, dan bokor kuningan jatuh di sebelah utara, yang kemudian diberi nama Kuningan.
Selain itu, bokor kuningan digunakan untuk memeriksa tokoh ulama Islam Sunan Gunung Jati dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan. Sunan Gunung Jati dipersilahkan untuk menaksir kehamilan istrinya Ong Tien Nio di daerah Luragung, yang sekarang merupakan kota kecamatan dan sekitar 19 km sebelah timur Kota Kuningan. Tujuannya adalah untuk menguji keluhuran ilmunya dan berdampak pada kedudukannya sebagai ulama. Salah satu versi legenda masyarakat mengatakan bahwa yang dikandung Ong Tien Nio (Rara Sumanding) adalah sebuah bokor. Untuk menyembuhkan luka hatinya, Sunan Gunung Jati mengangkat putra Ki Gendeng Luragung yang masih kecil dan memberikan nama Suranggajaya kepada olch Ki Gedeng Luragung, penguasa wilayah Luragung. Bayi itu kemudian diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi kepala daerah Kuningan dan diberi nama Sang Adipati Kuningan.
Pernyataan kedua mengatakan bahwa nama Kuningan merupakan salah satu nama wuku. Dalam kebudayaan Hindu, ada tiga puluh wuku. Wuku ke-12 diberi nama Kuningan. Sampai saat ini, para pemeluk agama Hindu merayakan wuku tersebut bersama dengan wuku Galungan sebagai hari raya. Menurut cerita dalam "Carita Parahiyangan", Kuningan telah menjadi pusat kekuatan politik sejak abad ke-8 Masehi. Agama Hindu sudah berpengaruh di daerah Kuningan pada saat itu. Beberapa artefak Hindu, termasuk pecahan batu lingga dan nandi, ditemukan di beberapa daerah Kuningan. Penguasa Hindu dan masyarakat Hindu dapat merayakan hari-hari penting, seperti "Hari Kuningan".
Pernyataan ketiga menurut tradisi lisan lainnya disebutkan bahwa sebelum bernama Kuningan, nama daerah ini adalah Kajene. Masyarakat Nusantara sering menganggap kuning sebagai simbol keagungan. Daerah ini kemudian disebut Kuningan karena bahan bokor dan warna kuningnya. Namun, ada keraguan tentang kebenaran Kajene sebagai nama pertama daerah ini. Menurut Naskah Carita Parahiyangan, sebuah dokumen yang ditulis di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan adalah nama daerah (kerajaan) yang dikenal sejak awal Kerajaan Galuh, yaitu pada akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi, dan wilayah yang dikenal sebagai Kerajaan Kuningan sekarang berada di wilayah Kabupaten Kuningan. Mitologi lokal mengatakan bahwa nama daerah Kuningan berasal dari kata "Dangiang Kuning", yang berarti ilmu atau ajian yang berhubungan dengan kebenaran murni. Ilmu tersebut dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa di daerah ini pada masa awal Kerajaan Galuh.
Posting Komentar